SEPI, ITU MENYAKITKAN (Halai Balai)
SEPI, ITU MENYAKITKAN
Sedih jika kuingat kesalahanku, masa lalu yang kelabu. Cerita
ini, berawal dari ketidaksiapan menghadapi kehidupan pernikahan. Aku menikah
karena paksaan orang tua. Ada seorang laki-laki yang cukup dewasa, menyukai dan
melamarku. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Perasaan marah dan kecewa menjadi
awal pernikahanku. Di desa waktu itu, gadis seumuranku kebanyakan sudah menikah.
Penolakanku dengan alasan mau menyelesaikan sekolah, ditolak mentah-mentah oleh
seluruh keluarga.
Suamiku seorang pegawai berstatus sukwan di sebuah
instansi pemerintah. Setelah melahirkan kedua putri kami, kabar bahagia itu
telah tiba. Suamiku diangkat menjadi PNS. Doa kami terkabul. Kehidupan berubah
dengan cepat. Gaji sukwan yang biasanya sudah habis pada minggu pertama,
membuat kami harus berhemat. Sehingga anugerah ini kami terima dengan suka
cita.
Terkadang
kita bisa lulus dalam ujian kekurangan atau kesempitan dalam hidup, tetapi kita
tidak dapat berhasil pada ujian kebahagiaan dan hidup berkecukupan. Gaji PNS
cukup besar, di desa dengan kehidupan yang serba sederhana. Apalagi kami punya
sawah yang selalu panen dalam setahun dua kali. Beras adalah bahan pokok yang
tidak perlu kami beli. Keadaan ini membuat gaya hidupku juga berubah.
Aku
mulai membeli bermacam baju dan kosmetik. Gengsi rasanya, bila seorang istri
pegawai pemerintah memakai baju yang sama dalam beberapa pesta pernikahan.
Apalagi di desaku, ada sebuah tradisi “GEBEY” yaitu pernikahan besar-besaran
yang selama tujuh hari tetangga saling membantu mengolah makanan yang akan
dihidangkan untuk tamu. Para wanita yang membantu, saling memamerkan baju dan
perhiasan. Mengulek bumbu, mengupas bahan-bahan makanan dengan pisau, mengukur
kelapa dan membawa alat tumbuk dari rumah. Nah yang paling bahaya adalah, di
acara bantu-bantu tetangga inilah beberapa insiden sering terjadi, saling
memamerkan kejayaan, bergosip dan menceritakan aib orang lain.
Suamiku
seorang suami yang jujur, bertanggung jawab, sayang pada kedua putri kami akan
tetapi tidak romantis padaku. Kehidupan ekonomi yang berubah membuat
teman-temanku juga semakin banyak. Aku mulai ikut senam aerobik untuk menjaga
kesehatanku. Senam yang bertujuan mulia ini lama-lama membawa aku pada
perkenalan dengan beberapa teman lawan jenis. Beberapa teman laki-laki ini
membuatku mulai mempertanyakan “ketidak romantisan suamiku”. Mengapa aku yang
gaul ini tidak pernah mendapat perhatian lebih? Suamiku selalu sibuk lembur di
kantor dengan tujuan meningkatkan ekonomi keluarga. Sore harinya berkumpul
dengan pemuda kampung untuk main voly ball atau sekadar bergurau. Diriku hanya
diajak bicara obrolan sehari hari yang kian terasa datar. Diriku rindu melihat
teman-teman yang berasyik masyuk dengan suaminya atau bahkan pacarnya. Sampai
peristiwa yang mendebarkan itu terjadi.
Seorang
tetangga dekat, termasuk teman suamiku sendiri. Selalu menatapku dengan tatapan
memuja. Pertama-tama aku biarkan, lama-lama perasaanku sebagai wanita yang haus
akan romansa merasa tergelitik. Sering kubertanya apa aku cantik? Pujian tidak
pernah kuterima dari suamiku yang baik. Teknologi mempunyai andil penting
memuluskan jalanku. Saling bertukar nomor handphone, kemudiang saling mengingatkan
waktu makan, kesehatan bahkan berkegiatan bersama.
Suamiku
tidak curiga, karena baginya hidup ini antara hitam dan putih. Sampai peristiwa
menggemparkan itu terjadi. Aku diketemukan sedang berasyik masyuk oleh saudara
suamiku, di sebuah pelosok desa yang sepi. Sidang keluarga digelar. Kemarahan
diumbar, ejekan bahkan tamparan. Kesetiaan adalah segalanya bagi seorang
perempuan. Terlepas dari apa penyebab perselingkuhan adalah dua belah pihak,
hal itu tidak dipertanyakan. Anehnya, aku semakin senang. Hati terasa bahagia,
baru kali ini suamiku marah. Serasa hidup terasa sangat menarik.
Hubunganku
tetap berjalan, walau terasa makin sulit, suamiku membatasi ruang gerakku,
selalu curiga saat aku pergi ke pasar, atau antar jemput anakku ke sekolah.
Bermacam-macam larangan dibuat, tidak boleh memakai handphone, memakai bedak
bahkan sepeda motor dalam waktu yang lama. Suamiku mulai jatuh sakit. Beberapa
sakit yang tidak diketahui obatnya. Takut mendengar suara adzan, takut pada
orang dan beberapa penyakit yang serasa tidak masuk akal. Hatiku makin bingung
dengan perasaan bersalah. Sakit suamiku disebabkan oleh depresi, dan rasa malu.
Tetapi anehnya hanya kasihan yang kurasa, aku tetap mewaratnya dengan baik,
tetapi cintaku padanya tiada lagi. Entah mengapa. Sampai akhirnya aku tidak
kuat lagi, setelah merawat suamiku yang sakit tiada kunjung sehat.
Aku
hanya ingin merasa diperlukan, dihargai karena dianggap penting, serta dicintai,
bukan karena sebuah keharusan, dan faktor pelengkap kehidupan. Semua nasehat
tidak kuhiraukan lagi. Nasehat untuk taubat kutolak. Bagiku saat itu, serasa
dunia tidak adil padaku, hanya “bahagia” yang ku cari? Terlalu mulukkah? Apakah
salah? Mengapa harus bertahan pada pernikahan yang tiada cinta di dalamnya,
hanya kewajiban untuk mempertahankannya karena norma masyarakat yang harus
dipertahankan.
Kuputuskan
untuk pergi bersama kekasihku. Kami meninggalkan keluarga dan pekerjaan. Hidup
bersama mereguk cinta. Menghilangkan jejak, juga identitas bahkan pekerjaan
yang sudah cukup mapan. Kabar pasangan masing-masing simpang siur kami terima
dalam diam. Suamiku mengajukan cerai yang berbelit-belit akibat prosedur PNS
yang ketat, setelah sebelumnya jatuh sakit berbulan-bulan lamanya. Sedang istri
kekasihku - yang selama ini juga teman baikku -
menghadap pimpinan kekasihku untuk meminta keadilan. Marah telah
mengaburkan segalanya. Marah oleh pengkhianatan orang terkasih.
Kedua
putriku lontang-lantung, berpindah tangan ke beberapa saudara. Sampai akhirnya
suamiku mengambil mereka berdua, setelah sembuh dari sakit hati yang panjang.
Aku dan kekasih hatiku, memutuskan
kembali setelah kedua perceraian kami resmi. Kami hanya menikah sirri.
Pernikahan legal menakutkanku, entah karena hatiku yang telah kehilangan rasa
kepercayaan diri pada lembaga pernikahan atau karena hatik nuraniku yang
menolak. Aku tahu aku salah.
Sekarang
aku menjadi buruh penggulung rokok dari sebuajh pabrik rokok terkenal di
daerahku. Banyak orang menyayangkan tindakanku. Kehidupan sebagai istri PNS
yang nyaman telah kutukar dengan kehidupan yang sulit. Senam atau waktu longgar
yang dulu bukan barang mewah, sekarang terasa sulit didapat. Menjadi buruh
pabrik, dsangat berat. Berangkat shubuh, pulang senja. Tetapi entah kenapa aku
bahagia. Sejak dulu aku ingin bekerja, yang selalu dilarang oleh suami
terdahulu. Sekarang hidup kujalani dengan ceria, kami telah mengobrak-abrik
dunia untuk menyatukan cinta. Menyingkirkan orang terkasih, serta jauh dari
keluarga.
Aku
hanya ingin jujur dalam hidup.
Bahwa
cinta itu harus diraih
Biarlah
Allah saja menjadi hakim kami
Dan
moga suatu saat putri kami mau mengerti
Tidak mengadili kami karena pernah
lari
Pergi mencari buah terlarang
Setiap mata melirik tajam pada
eksistansi
Seakan bertanya, alangkah bodoh kami
ini
Jangan
tiru langkah kami
Ambil
saja hikmah
Bahwa
menikah adalah ibadah
Jangan
lupa selalu berdoa
Agar Allah slalu menjaga semua hati
Dalam mawaddah warahmah
Tiada hati yang ingin begini
Kebahagiaan didapat setelah menyakitkan
2 komentar untuk "SEPI, ITU MENYAKITKAN (Halai Balai)"