Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masih Bolehkah Aku Cemburu?

 


Ujian Keluarga

            “Teori tentang kajian tarbiyah adalah inti jiwa saya. Materi tentang Ilahiyah dan ketauhidan, ubudiyah dan muamalah telah meresap dalam jiwa saya. Saya menjadi murobbi atau ustadzah beberapa halaqoh dan binaan. Praktek di lapangan sangat berbeda dengan teori yang telah saya kuasai.” Suaranya lembut menceritakan awal kisah yang sangat mengganggu pikirannya. Matanya menerawang jauh, jubah panjangnya melambai-lambai. Wajah yang bersahaja, dan sederhana. Saat melihatnya pertama kali,  tiada istimewa.



Dia menjadi istri seorang ustadz yang penuh dedikasi kepada dakwah. Ustadz yang sangat dicintai umat. Seorang suami yang penuh tanggung jawab, pergi ke pasar berbelanja keperluan dapur, membersihkan rumah sebelum pergi berdakwah. Seakan hati semua perempuan iri melihat keadaan itu. Rasa syak wasangka itu akan segera sirna, saat sudah melihat perempuan sederhana dan pendiam itu mulai bekerja, tanpa banyak bicara. Beliau menjahit baju serta jilbab murid-murid perempuan dalam lingkungan sekolah. Mengolah kue yang lezat diiringi bacaan tilawahnya. Senyum rikuh malu-malu selalu menghiasi wajahnya di setiap waktu.

            “Abi jarang pulang, ukhti. Seluruh waktunya hanya untuk umat. Saya membantu mencari nafkah dengan menjahit dan membuat jajan kecil-kecilan.” Matanya menerawang ke depan saat bercerita padaku.

            “Saya tahu, sebagai perempuan, saya tidak sempurna. Sampai masa pernikahan kami yang panjang, tiada seorangpun anak titipanNya yang datang untuk melipur lara. Jadi satu-satunya pelipur lara adalah mengisi pengajian, menghafal Alquran, dan bertemu anak-anak di sekolah.”

Dengan menghela nafas panjang dia meneruskan ceritanya.”Pernah suatu hari abi terlihat senang pada salah satu keponakan yang baru lahir. Saya memohon pada orang tuanya untuk memberikannya pada kami, tetapi mereka tidak bersedia”. Matanya berkaca-kaca menyimpan sebuah luka yang teramat dalam. Sebagai seorang istri, dia merasa gagal karena tidak mampu memberikan keturunan pada sang suami tercinta.

Ujian Cinta

            Beberapa waktu berlalu,  kami jarang bertemu kembali, ketika  suatu sore senyum lembutnya terlihat dari jauh. Tangannya melambai memanggilku untuk mendekat. “Assalamualaikum, ukhti saya kangen sekali”. Tangannya menjabat dengan erat.

 “Lho, kok sekarang ustadzah agak kurus, habis sakit ya?”

 Dia menggeleng lemah. Telunjuknya menekan dadanya dan berkata.”Ini, yang sakit.” Senyumnya lemah. Bila cinta kita diduakan, terasa berjalan di atas duri.

 “Saya mengerti, ini adalah hal yang dihalalkan Allah SWT”. Katanya lemah, sejenak menghela nafas dalam-dalam, menghirup udara yang terasa sesak.

“Ukhti, teori tidaklah sama dengan praktek. Terasa sakitnya sampai ke jantung. Saya ikhlas, karena memang abi butuh penerus dakwah yang dapat dididik sendiri. Ya Allah, tabahkan hati hambaMu yang hina ini, hambaMu yang mudah cemburu.”

Ujian Keikhlasan

            Sore telah membayangi pelataran parkir masjid. Kami duduk berdua menikmati hari yang terasa indah.

“ Sekarang saya sudah ikhlas.”

“Apakah mengikhkaskannya terasa sulit ustadzah?”tanyaku pelan.

Wajahnya berbinar penuh kedamaian. “Terkadang saya menangis di depan abi.” He he he dia tertawa bahagia. Aku heran dengan arah pembicaraannya. Dia seakan mengerti dengan pertanyaanku yang tak terucap.

“Saya menangis biar abi tahu, bahwa saya perempuan biasa yang punya hati. Ukhti tahu apa jawabannya?” Aku menggeleng pelan.

“Ummi kan sudah berenang di lautan tarbiyah puluhan tahun? Mengapa harus sedih? Menangis itu hanya bila jauh dari Allah SWT.” Aku geram mendengar ceritanya. Alangkah mudah memberi nasehat bila bukan dirinya yang terluka? Aku jadi sedikit jengkel dengan ustadz idolaku ini.

“Tenang ukhti, saya tidak marah kok. Saya justru bahagia. Abi kalau mau pergi berdakwah, selalu minta saya yang menyiapkan bajunya. Begitupula waktu sakit, selalu datang dan istirahat di rumah saya.”

Aku mulai mengerti, ustadz lebih mencintai ustadzah sebagai istri pertama, walau mungkin tidak diakuinya. Kecantikan hati itu lebih abadi dari pada apapun jua. Ya Allah , mudah-mudahan mereka berdua tetap istiqomah di jalan dakwah. Meniti jalan yang berbeda dari yang lain. Selalu berusaha membersihkan niat lillahi ta’ala. Biarlah Allah yang menghisab segala amal perbuatan. Janganlah kita mudah menghakimi apa yang tampak oleh mata, karena mungkin itu tiada benar adanya

           

           

 

           

4 komentar untuk "Masih Bolehkah Aku Cemburu?"

Unknown 11 Februari 2022 pukul 13.37 Hapus Komentar
Tulisan yg bagus untuk direnungi. Namun terkadang sangat sulit jika kita sendiri berada di posisi tersebut. Keren,thor ...ditunggu tulisan-tulisan lainnya ya.
s_jeka4.belajar 11 Februari 2022 pukul 13.53 Hapus Komentar
Inspiring, berat ujiannya kk, hanya orang pilihan yang mampu melewati
Titin 11 Februari 2022 pukul 19.25 Hapus Komentar
Inpirasi banget, tulisan yg sangat keren. Next tulisan berikutnya. mampukah kita melewati jika diposisi itu ya. Orang2 hebatlah yg bisa melewatinya
Yunia Mannan 13 Februari 2022 pukul 17.35 Hapus Komentar
Nangis baca ini 😭