Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ABI, WAIT FOR ME IN HEAVEN

 

Menikah dengan laki-laki yang sholih, impian semua perempuan termasuk aku. Sebagai alumni universitas negeri yang mencetak para pendidik, saya bercita-cita mendapat jodoh sesama guru. Pada usia 27 tahun, setelah ta’aruf dengan seorang ustadz dan berjodoh, aku pun diboyong ke Semarang. Sebagai anak kedua sebuah keluarga sederhana, ayah dan ibu memberi bekal kepergianku dengan doa.

Selama di Semarang, abi-suamiku- mengabdi sebagai guru di sebuah madrasah aliyah -setaraf  SMA- di bawah naungan sebuah pondok pesantren. Kami hidup di sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana. Semua perabot rumah tangga sangat minimalis, baik kuantitas ataupun kualitas. Genteng bocor, pintu dan daun jendela yang bergoyang diterpa angin, sudah menjadi hal yang biasa bagiku.

Setelah Sakinah, putri sulung kami berumur dua tahun, aku mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan swasta yang cukup maju. Keadaan rumah tangga cukup mengalami perbaikan. Kasur yang selama ini sudah kempis, bisa diganti. Aku selalu menabung untuk persiapan uang kontrakan tahun berikutnya.

Tidak terasa Sakinah telah duduk di kelas dua SD. Alhamdulillah, aku dikarunia seorang bayi laki-laki. Haqqan anak laki-laki yang tampan dan lucu. Lebaran tahun pertama umur Haqqan, kami berempat mudik lebaran ke kampung orang tuaku. Saat itulah mulai terasa ada yang berbeda pada diri abi. Badan kekarnya selalu lemas, perut kembung dan agak membesar. Serasa selalu kenyang walau belum makan. Lebaran kali ini terasa sendu. Aku mengira abi hanya kecapekan dan penyakit maaghnya kambuh. Setelah tujuh hari lebaran, kami pun memutuskan pulang.

Di Semarang, penyakit abi bertambah parah, hingga disarankan opname oleh dokter. Abi semakin cerewet saat sakit. Makan minta yang enak, selalu minta dipijat dengan lembut dan gampang sekali marah.

Setelah seminggu kondisinya tidak semakin membaik, maka abi dirujuk ke rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Disanalah baru ditemukan bahwa abi, suamiku yang tercinta mengidap benjolan di perut. Belum diketahui benjolan apa itu, sehingga segala tes dan terapi terus dilakukan. Semakin lama dirawat di rumah sakit, dana tabungan kami sudah habis, dan mulai pinjam sana sini. Untunglah aku punya teman-teman yang baik. Teman yang baik lebih utama bagai saudara sedarah. Mereka selalu membantu memudahkan segala urusanku, baik dana maupun kesulitan yang aku hadapi bersama anak-anakku yang masih sangat kecil.

Benar kata pepatah, bisa karena terpaksa. Hal ini berkaitan dengan kemampuanku mengendarai sepeda motor. Aku belajar mati-matian untuk bisa mengendarai sendiri sepeda motor matic. Selama ini abi yang mengantar jemput aku dan anak-anak ke sekolah. Setelah dua minggu belajar sepeda motor dibawah bimbingan ayahku yang selalu mendampingi, aku bisa berangkat ke sekolah sendiri. Bahkan pernah datang ke rumah sakit pada jam 00.00 malam.Saat itu hujan deras, mendapat kabar bahwa abi kondisinya memburuk.Adik ipar yang menunggui di rumah sakit, menelpon dengan nada khawatir. Tanpa pikir panjang, kuambil sepeda motor. Ayah menatapku dengan khawatir dan sedih.

“Jaga anak-anak, ya,Yah.”Kataku lirih. Beliau mengangguk dengan pelan dan bingung. Maklum, mau menemaniku ke rumah sakit tidak mungkin. Anak-anak masih terlalu kecil untuk ditinggal sendirian. Aku takut pada sesuatu yang rasanya akan terjadi. Aku hanya berharap, Allah selalu ada untukku. Hujan deras, malam gelap gulita, jalan naik turun dan licin tiada kuhiraukan.

  Subhanalloh kalau dipikir sekarang betapa nekadnya aku saat itu. Saat aku tiba, ternyata abi meminta untuk dielus-elus punggungnya yang mulai lengket. Dia tidak mampu bicara, matanya berkaca-kaca.

“Abi ingin apa?” Tanyaku lirih. Dia hanya menggeleng lemah. Ku ambil spon lembut, kutempelkan sedikit pada air hangat lalu kuusap punggungnya yang lengket.

“Sabar ya, Bi.”Dia hanya mengedipkan mata pelan. Air mata menetes di kedua pipinya yang bengkak. Sudah sebulan ini hanya selang infus menjadi sumber makanan yang masuk ke tubuhnya. Jus jeruk dan jambu adalah minuman favorit yang selalu diminta olehnya. Tanpa sepengetahuan suster, selalu kuturuti permintaannya.

“Jangan dibelikan jus buah-buahan terus bu, coba buatkan jamu temulawak. Bagus untuk tubuh bapak.” kata keluarga pasien yang menunggui di kanan dan kiri abi. Waktu itu aku sedikit takut apa yang kulakukan salah. Hal yang tidak kusesali sekarang.

Beberapa waktu berlalu keadaan  abi tidak semakin membaik. Sehingga saat dokter spesialis penyakit dalam yang baru datang dari luar negeri memanggilku ke ruangannya. Seluruh tubuhku semakin berat, seakan ada seonggok daging yang bergelayut membebaniku.

“Bu, kami sudah melakukan segala cara medis yang dapat kami lakukan.”Kata dokter Saleh, dokter yang menangani penyakit abi.

“Bukankah dokter telah merencanakan untuk mengoperasi benjolan di perut suami saya?”

Dokter Saleh tersenyum, kemudian mmengangguk pelan,”Memang, Bu.Tetapi saat kami mulai prosedur persiapan operasi, kondisi suami Ibu semakin menurun. Bila kali beri transfusi darah, tubuhnya tidak semakin membaik. Seakan benjolan di dalam tubuhnya yang memerlukan darah tersebut.”

“Apa maksud dokter?”

“Bu, mohon bersabar, suami ibu terindikasi mengidap penyakit kanker hati dan kanker kelenjar getah bening. Semua transfusi darah merah atau putih, hanya membuat sel kanker di tubuh beliau semakin kuat.”

“Dok, lakukan apapun. Saya mohon.”

“Sebaiknya ibu berembuk dengan keluarga, apa suami ibu mau di bawa pulang atau tetap disini.”

Badanku serasa ringan tanpa tenaga. Segera ke kamar abi yang sedang tidur. Setelah pamit pada adik ipar, aku pulang.

“Yah, abi akan aku bawa pulang.”Kataku pada ayah yang menunggu dengan cemas di rumah. Beliau hanya mengangguk pasrah.

Sesampainya abi berobat rawat jalan di rumah, aku mulai menyiapkan segala sesuatu yang dapat memudahkan abi. Kubelikan kasur lembut di depan televisi agar abi terhibur. Serta kuisi penuh pulsa smartphone yang digunakan abi browsing beberapa berita. Tongkat yang kubeli dengan  harga yang lumayan mahal pun kusiapkan di dekatnya agar mudah menggunakannya. Aku tetap menitipkan Haqqan pada tetangga yang sangat baik. Haqqan diasuhnya saat aku mengajar di sekolah, sedang Sakinah bersekolah bersamaku.

Tepat dua minggu abi di rumah. Kudengar kabar, bahwa seorang dokter spesialis penyakit kanker telah pulang dari luar negeri. Sepulang sekolah aku menemui beliau di rumah sakit tempatnya mengabdi. Beliau setuju menerima abi sebagai pasien untuk diobservasi lebih lanjut. Harapan di hatiku mulai mekar. Aku tidak mau menyerah begitu saja. Abi segera masuk rumah sakit kembali. Prosedur pengobatan penyakitnya dimulai kembali. Sampai dua minggu kemudian kondisi abi semakin memburuk. Perut abi membesar. Bicarapun sudah tidak bisa. Suatu malam, abi memberi isyarat padaku untuk mendekat ke bibirnya.

“Umi lihat orang tampan itu? Umi jangan menghalanginya.”Kata Abi lirih. Aku menoleh kanan kiri mencari orang yang dimaksud.

“Siapa, Bi?”

Akhirnya abi tersenyum cerah. Melihatku dengan penuh cinta.

Tanpa berpamitan, abi menyebut asma Allah dengan lirih. Menggenggam tanganku, kemudian jiwanya pergi. Seakan rindu bertemu bertemu kekasihNya, meninggalkanku dalam kepiluan.

Dunia seakan runtuh, dan aku tenggelam dalam kesunyian. Banyak orang-orang datang, aku tiada mendengar apapun. Sepi. Sampai datanglah Kiai yang menjadi guru suamiku. Beliau membantu kepulangan jenazah suamiku ke rumah orang tuanya di Lombok. Dua hari tiga malam, aku dan anak-anak naik bus pembawa jenazah abi. Tanpa makanan yang tidak terpikir olehku untuk dibawa, Sakinah dan Haqqan mengalami perjalanan yang sulit dan panjang.

Sesampai di Lombok, pemakaman segera digelar dengan khidmat. Setelah beberapa hari, aku kaget saat dipanggil untuk berkumpul dengan keluarga abi. Mendengar keinginan mereka untuk memohon padaku untuk meninggalkan Haqqan dalam pengasuhan mereka. Aku terdiam lama, kemudian berkata dengan pelan.

“Muhamad As’ad Hamdani memang anak, kakak serta saudara kalian. Tetapi dia juga suami dan ayah anakku.”Aku berkata dengan lirih, yang tidak satupun dari mereka yang hadir menentang akan hal itu.

“Jika Haqqan kalian ambil dari saya. Maka,”Saya tidak segera meneruskan kalimat yang terpotong. Kupandangi mereka satu persatu. Orang-orang yang sangat disayangi oleh abi.

“Kami tidak bermaksud mengambilnya, Kami hanya berusaha meringankan bebanmu.”Kata sorang saudara abi yang dituakan.

“Kami akan merawat Haqqan dengan baik.” Tanganku terasa sakit, karena tanpa terasa kutekankan genggaman tanganku di kursi besi yang kududuki.

“Oh, Tidaaak. Jangan membuat  membuatku, perempuan yang lemah ini, kehilangan untuk kedua kali. Jika itu terjadi, maka mungkin saya akan segera menyusul abi.” Jawabku dengan pasti.

“Dua hari lagi,ayah saya akan menjemput kami.Saya selalu berdoa mudah-mudahan kita selalu diridhoi dan dikuatkan olehNya.”

Jalanku masih panjang, Tapi satu yang menjadi keyakinku. Allah bersama saya dalam suka dan duka. Allah sudah cukup bagiku. Sangat cukup.

  Oleh Amilia Rahma Sania

1 komentar untuk "ABI, WAIT FOR ME IN HEAVEN"

Cocokpedia Queen Zeva 28 Februari 2023 pukul 17.06 Hapus Komentar
Keren, semangat berkarya!