Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Burning in Hopeless Dream, Dear

 

Cinta dan Pengorbanan

Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Tinggal di sebuah kota besar. Keluargaku sederhana dan sangat menjunjung tinggi agama dan pendidikan. Saat akhir studi di sebuah universitas negeri, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang akhirnya menjadi jodohku.

Suatu hari

“Nak, tugas istri adalah mengikuti suaminya kemanapun dia pergi.”Kata ibuku dengan tegas.

“Bu, Mas sudah mengajar di sini. Bukankah akan sulit memulai dari nol, bila kami pindah? Sedang anak kami nanti butuh biaya.” Saat itu Aku sudah mulai mengandung anak pertama kami.

“Tenanglah, Nak. Allah itu ada. Mintalah padaNya. Jangan kau kira Ibu senang dipisahkan dengan anaknya. Ibu juga tidak khawatir saat kau menikah empat bulan yang lalu, padahal kalian baru lulus kuliah. Allah selalu menjaga hambanya yang mau menegakkan syariatnya. Saat niatmu menikah tulus, untuk meraih ridhoNya. Maka biarlah Allah menjadi penolongmu.” Ibu berkata sambil mengusap air mata yang menetes. Rumah kecil yang menjadi tempat tinggal aku dan suami segera dikosongkan. Perintah mertuaku sudah jelas. Anak tunggalnya harus segera pulang kampung.

Hatiku resah dan gelisah saat menapakkan kaki di rumah mertuaku. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi masalah pertama yang aku temui. Suamiku dengan sabar berusaha sebisanya membantuku berbaur dengan lingkungan. Beberapa cobaan babak pertama kehidupan telah kami lalui.

Setelah jatuh bangun menjejakkan diri menjadi penyebar pengetahuan, kami telah mengecap manisnya berkutat dengan ilmu.

Setelah Lima Belas Tahun Pernikahan.

“Ayah, aku dapat undangan mengikuti seleksi guru berprestasi di Surabaya.” Curhatku kepada suami dengan suara lembut. Raut wajahnya kosong, melihatku sebentar. Tangannya semakin cepat menekan keyboard laptop kesayangannya.

 “Aku naik apa ya? Kalau naik pesawat terbang, tidak begitu lama meninggalkan anak-anak, tetapi mahal kan, Yah?” Tangannya berhenti sebentar, lalu meneruskan mengetik dengan kening berkerut.

“Naik bus, lebih murah, tetapi bagaimana anak-anak? Siapa yang menemani mereka belajar, menyiapkan seragam sekolah, mmm..sedang ayah kan sibuk kerja. Naik bus juga semakin lama untuk sampai ke rumah.” Aku tetap sabar menunggu responnya.

“Terserah.” Akhirnya dia menjawab sambil tetap sibuk dengan laptop, entah apa yang dikerjakannya. Aku sudah terbiasa dengan sikap diamnya. Tidak melarang segala aktifitas, tetapi juga tidak memotivasi. Selalu begitu. Nafas terasa berat, berpusat di dada. Ah, kapankah kau memperhatikanku suamiku yang sangat kucintai. Apakah di dalam hatimu masih tersimpan sedikit perhatian dan rasa cinta padaku.

Sendiri Itu Sepi

Saat keberangkatan tiba, semua penumpang diantar keluarga, saudara atau teman. Saling berpelukan hangat,  berpesan oleh-oleh dan  mengingatkan untuk menjaga kesehatan. Diiringi tangisan si kecil yang tidak mengerti apa yang terjadi.

Melihat keriuhan itu, hatiku terasa kosong. Hanya tukang becak langganan yang mengantar saya sampai ke tempat pemberangkatan. Kutahan pepat kesepian hati yang turut merindu melihat keadaan itu. Alunan ayatNya yang terdengar lewat handphone jadulku, menenangkan qolbu yang bergolak merana. Semoga Allah mengisi kesepian hati ini dengan berkah ayatNya.

Bus ekonomi menjadi saksi kesedihan hati ini. Segera kualihkan konsentrasi pada bacaan yang menjadi teman perjalanan. Tujuh jam telah berlalu, fajar menyambut kedatanganku di kota metropolitan, dengan menyeret koper kecil ku cari petugas keamanan yang dapat menunjukkan rute perjalanan yang akan mengantar ke tempat tujuan. Ketakutanku pada daerah baru tidak menyurutkan langkahku maju.

Sesampainya di tempat lomba, bertemu dengan banyak guru berprestasi. Guru yang berjuang penuh kebijakan dan ketabahan. Ada yang mengarungi sungai deras dengan batuan sungai nan terjal, agar dapat bertemu dengan anak didik. Guru pembuat media dari barang bekas. Serta segudang prestasi yang menkjubkan.Terasa semua kegalauanku bagai rengekan seorang anak manja di tengah pesta yang meriah.

Gelar guru berprestasi sangatlah berharga untuk memotivasi agar berbuat lebih pada anak didik. Hati ibarat kapas, akan lebih berharga, jika dapat menampung banyak air dalam kekeringan.  Apabila kapas itu mulai berat, cukup segera diperas airnya, lalu bila cukup kering, maka bisa menerima lagi air yang jatuh. Air itu bagaikan air mata kesedihan anak didik yang lagi butuh kasih sayang dan teman yang lagi butuh perhatian.

 

Teko Air yang Selalu Kosong

Sebuah teko air yang mengisi gelas dengan air. Maka teko itu harus selalu mengisi kembali dirinya dengan air. Begitu pula diriku. Terkadang hatiku bertanya. Saat masa sulit awal pernikahan kami, masalah yang datang adalah masalah ekonomi dan eksistensi diri. Aku tetap mengisi -teko- diriku dengan semangat, karena ada suami yang menguatkanku.

Sekarang-teko- diriku sering kosong dari cinta suamiku yang beralih ke hal-hal yang menurutnya lebih penting. Lalu siapa yang mengisi hatiku? Padahal gelas akan selalu datang meminta airku. Allahlah jawabannya. Allah selalu ada. Saat diriku mulai lemah, kupinta padaNya untuk menguatkanku. Bukankah ujian akan selalu datang dengan bentuk berbeda. Mudah-mudahan kita selalu lulus dari ujian cintaNya.

Suamiku sayang, aku mencintaimu karenaNya

Jika hari ini cintamu surut

Ku kan berdoa padaNya agar cintaku tetap ada untuk kita bagi berdua

Jika saatnya telah tiba

Aku ingin tetap berada pada barisan istri sholihah

Diammu, lebih menyakitkanku

Tetapi doaku padaNya akan selalu melingkupimu

Ya Allah, Lindungi suamiku tercinta

Mudah-mudahan suatu saat

Cintanya akan hadir kembali

Pada tubuh dan hatiku yang mulai beranjak dewasa

Jika saat itu tiba

Tolonglah..panggil aku CINTA

  Ditulis oleh Amilia Rahma Sania

Posting Komentar untuk "Burning in Hopeless Dream, Dear"