Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

1. DUKAMU TIDAK SEBERAT DUKAKU (Halai Balai)


\


Hujan mengguyur Tongan Ledok beberapa hari ini. Cuaca yang sudah cukup dingin, menambah suasana semakin redup dan lembap. Tongan Ledok adalah kampung yang dikelilingi oleh pertokoan Cina, dan Kampung Arab. Letaknya yang  berdekatan  dengan Masjid Agung, alun-alun serta  beberapa  supermarket dan mall, membuatnya menjadi incaran para  pekerja yang bingung mencari kos-kosan.

Harga kamar kos di daerah ini juga cukup murah, karena Tongan Ledok adalah kampung yang berada persis di atas aliran sungai Brantas. Sehingga saat hujan seringkali banjir dan sangat lembab. Pinggiran sungai yang ditutup oleh coran dan bebatuan, hanya menyisakan sebuah lubang besar untuk tempat menyusutnya air.

Letaknya yang berada agak melandai membentuk lembah, sehingga penduduk kampung membuat tangga yang cukup tinggi untuk mencapai jalan besar. Di tangga tersebut, masing-masing terdapat lubang besar untuk tempat pembuangan air menuju ke sungai besar.

Aku menempati sebuah rumah yang dibangun agak lebih tinggi daripada rumah yang lain. Mungkin


dimaksudkan sebagai pencegahan agar bila banjir datang, rumahku tetap kering. Sebagai sulung dari tiga bersaudara, aku harus memberi contoh kedua adikku, bahwa keadaan kampung ini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak berusaha lebih keras agar meraih  hidup yang lebih baik. Rata-rata penduduk kampung berprofesi sebagai pengasuh anak, penjaga toko atau pedagang kelontong. Walaupun terletak di tengah kota, kebanyakan dari kami tidak merasakan kesuksesan finansial. Perdagangan besar dikuasai oleh pedagang keturunan Cina dan Arab.

Mungkin hanya beberapa yang dapat dihitung dengan jari berprofesi sebagai pegawai pada instansi pemerintah. Termasuk Ibuku. Ibu Lilik adalah panggilan akrabnya. Sebagai guru agama sebuah SDN di kawasan cukup strategis, seharusnya hidup kami cukup. Akan tetapi beberapa beberapa tunggakan dari  bank, membuat kami sekeluarga harus hidup cukup prihatin. Ayahku adalah seorang pedagang kaki lima di emperan pertokoan milik warga keturunan.

“Lia, sudah selesai kau hitung jumlah es hari ini?” tanya ibu lembut, sambil terus mengaduk adonan es


yang sudah dicampur buah sirsak.  Aku  mengangguk, dan segera berdiri.

“Lia izin dulu,  Bu.  Biarlah  Neli  menggantikan.

Neli sudah selesai mengerjakan tugas, sepertinya Bu.” “Iya   Ibu,   Neli   sudah   selesai   kok.   Mbak   Lia

waktunya ngajar di Tongan Atas, Bu. Sekarang kan tanggal muda, mungkin mbak Lia dapat gaji hari ini.” Celetukan Neli menghangatkan hatiku.

Tongan Atas adalah perkampungan yang berada di atas Tongan Ledok. Tongan Ledok, kampung yang terjepit oleh beberapa gedung raksasa. Sehingga suhu udara cukup lembab. Matahari yang datang terhalang oleh gedung yang menjulang. Hal ini tentu saja berbeda dengan Tongan Atas yang banyak dihuni oleh keturunan arab, rumah mereka cukup luas dan indah. Serta rata- rata lokasinya berada di pinggir jalan besar. Rumah mereka telah diturunkan dari leluhur sejak zaman penjajahan dulu yang terkenal sebagai kaum pedagang. Perkampungan mereka bernama “kampung  arab”. Begitu pula keturunan cina, yang membentuk komunitas sendiri yang terkenal dengan “kampung pecinan”.

Setelah membersihkan tangan dari cipratan es, segera kuambil payung tua untuk sekedar menahan


hujan yang turun deras malam ini. Jalanan di Tongan Atas terlihat sepi. Hujan membuat suasana agak suram.

Rumah besar itu terlihat lengang, pagar kugedor dengan logam yang menempel pada pagar. Tak lama kemudian Mbok Darsih datang membukakan pagar dengan tergopoh-gopoh.

“Masuklah, Mbak Lia.” Mbok Darsih menyuruhku masuk ke dalam ruang belajar yang hangat. Ruang belajar yang tidak pernah kumiliki,  walaupun  aku sangat menginginkannya.

“Ayo Ayu, cepat mandinya, ada  Mbak  Lia.”  Kata Yu Asih pengasuh Ayu. Ayu adalah salah satu murid lesku.

“Biarlah, aku tidak mau belajar!” Bentak Ayu dengan keras.

“Entahlah hatiku tetap sakit  mendengar penolakan yang sudah sering kudengar itu. Belajar bagiku adalah jalan menggapai harapan. Apakah Ayu tidak pernah mendengar itu dari ibunya.  Tetapi sudahlah tugasku hanya mengajarinya.” Gumamku lirih. Aku segera bangkit dan merayunya. Akan kuceritakan beberapa cerita yang kudengar dari ibuku. Ibu terhebat di seluruh dunia.


Sesaat kemudian Ayu mau diajak bekerja sama, beberapa bab pelajaran berbeda, telah dibahas diselingi dengan beberapa cerita yang kuingat di luar kepala. Ternyata beberapa saat yang lalu, Bu Rosma, mama Ayu ikut mendengarkan ceritaku. Memang bila sudah larut dalam dongeng dan kisah, aku bisa lupa akan sekitar.

Setelah selesai mengajar aku berkemas. Sedikit melambatkan untuk menata buku yang tercecer  di segala arah. Menunggu panggilan itu.

“Mbak Lia kemarilah.” seru Bu Rosma. Aku terlonjak bahagia. Terbayang wajah adikku Neli dan si kecil Angga yang pasti sudah menungguku. Menunggu traktiran dari mbaknya, yang hanya bisa dilakukan sebulan sekali.

“Mbak, setelah melihat gaya mengajarmu, Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi kerja sama kita. Ayu tidak butuh cerita dan dongeng. Dia sangat membutuhkan untuk disadarkan, bahwa mamanya bekerja keras untuknya. Belajar itu penting. Dan tidak perlu dibumbui dengan dongeng yang cengeng, itu hanya akan membuatnya semakin manja.” Bu Rosma berkata dengan tegas dan tenang. Matanya menatapku dengan dingin. Hatiku terasa pedih. Teringat uang bukuku yang


harus segera dibayar. Kuterima amplop itu dengan perasaan bahagia sekaligus sedih luar biasa. Bagaimana mungkin Bu Rosma berkata dongeng dan kisah orang- orang budiman hanya membuat cengeng dan manja?! Padahal itulah yang membuatku tetap mampu bermimpi untuk meraih kesuksesan.

“Mbak Lia datang, Bu.” Teriak Neli dan Angga senang, segera kusodorkan makanan yang kubeli dari sedikit uang yang kudapat. Mereka memakannya sambil berebut. Alangkah indahnya dapat berbagi dengan adik yang kusayangi.

“Ada apa Lia, mengapa mukamu terlihat sendu.” Tanya ibu. Yah ibu nomor satu ini pasti tahu. Walaupun sudah kutekan kesedihanku.

“Bu Rosma memberhentikanku, Bu.” Kataku lirih.

Ibu mengelus kepalaku.

“Rezeki bukan dari Bu Rosma, Lia. Camkan itu,Nak.”

“Ya, Bu.”

“Kamu akan mendapatkan jalan keluarnya, Allah Maha Baik, ingatlah itu selalu anakku.” Hibur Ibu pelan. Mengapa bila mantera itu disebut oleh ibu, selalu terasa


bagai vitamin yang disuntikkan ke dalam  tubuhku. Segala lesu dan lelah menjadi segar kembali.

“Iya Bu, Lia tahu itu, Cuma mengapa hatiku tetap sakit ya?”

“Tenanglah, Nak. Jalan bagi orang yang ingin sukses itu tidak pernah mudah. Semakin tinggi harapan kita, maka akan semakin sukar jalan yang harus ditempuh. Ibu dan seluruh keluarga ada di sini, Nak. Kami akan selalu menopangmu jika kau sedikit lelah. Lalu berjuanglah kembali, ok?” kata  ibu  sambil mengelus punggungku dengan lembut dan hangat.

Hari semakin malam, mataku hanya sedikit terpejam. Sudah berapa kali aku berbalik ke kanan dan kiri. Akhirnya aku menyibak selimut.

“Akan kudatangi Allah malam  ini,  mungkin setelah curhat padaNya hatiku sedikit lega.” gumamku. Sandal kucari dalam gelap. Lamat-lamat kudengar sebuah suara merdu mendayu.

“Ya Allah...Segala sholawat semoga tercurah pada Muhammad dan keluarganya. Pada malam sunyi penuh berkah ini. HambaMu yang lemah ini berdoa dan memohon ya Rabbi. Semoga anak hamba yang sangat baik ini, selalu dianugerahi rasa syukur kepadaMu,


kesehatan dan kekuatan. Ya Allah  selamatkanlah  hati dan semangatnya, jauhkan dirinya dari kesusahan hidup. Hindarkan dari beban hidup dan selalu berkeluh kesah. Tingkatkanlah derajat anak hambaMu yang lemah ini menjadi orang yang sukses di dunia   dan akhirat.” Doa ibu lirih dan syahdu terdengar. Sayup-sayup kudengar lantunan doa yang sangat panjang. Aku mengamini dari jauh. Kakiku berat melangkah ke kamar mandi. Kutakut mengganggu munajat ibu.

“Ya Allah aku telah menyusahkan beliau hari ini dengan kesedihan yang tidak seberapa besarnya dibandingkan duka ibuku. Hal ini kutahu kemudian saat kudengar ceritanya. Cerita tentang Lilik Maslikhah yang membuat aku selalu memujanya. Kisah tentang ibu dan emaknya. Dua generasi sebelumku. Aku tidak mengenal emak dari ibu, karena katanya “emak” meninggal dalam kecelakaan di jalan raya saat menyeberang jalan.

Saat itu, emak sedang bergandengan tangan dengan ibuku. Membicarakan tentang diriku yang akan segera lahir. Hanya tinggal menghitung hari. Tiba-tiba datanglah sepeda motor yang melaju dengan kencang. Entahlah apa yang terjadi pada pengendara sepeda motor itu yang mengebut di siang hari. Tanpa pikir


panjang, emak mendorong ibu, sehingga ibu selamat, sedang emak tidak tertolong. Subhanallah, hingga akhir hayatnya lisan emak selalu mengalir ayat kursi yang menjadi bacaannya setiap hari. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya amin.


Posting Komentar untuk "1. DUKAMU TIDAK SEBERAT DUKAKU (Halai Balai)"