Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

I'm Always Waiting For You, My Love

 

Tonight I'm alone again, without your presence. Children's laughter lights up a lonely night without you. Your presence is highly coveted by children who miss their father. I have done various ways to seduce you, the last time I read the results of a study. The results prove that the closeness of children to their fathers can increase intelligence. Your facial expression remains flat.

Sebagai seorang guru sebuah sekolah yang maju, tentu banyak sekali amanah yang harus dikerjakan, belum lagi pekerjaan rumah tangga. Terkadang setiap malam yang kulalui tanpa dirimu, hatiku merana. Mampukah aku merekatkan cinta yang semakin lemah?

Doa istri yang sholihah akan membantu kesuksesan suami. Hal itu yang selalu memotivasiku agar bersabar. “Badai pasti berlalu.” Bisikku dalam sepi. Dulu sebelum kita berjodoh, aku selalu berdoa pada Allah agar menganugerahkan padaku seorang suami yang bertanggung jawab. Doa itu telah dikabulkan Allah. Dari mulai awal menikah sampai dengan sekarang engkau selalu bertanggung jawab sesuai pendapatan yang di dapat.

Seiring berlalunya waktu, setelah sukses semakin mengiringi langkah keluarga kita. Hubungan kita menjadi platonis. Memang benar semua kebutuhan sekolah anak-anak selalu terpenuhi. Serta kebutuhan yang memerlukan dana besar, selalu tersedia darimu. Akan tetapi tidak sepatah katapun kau ucapkan padaku  setiap hari, hanya anggukan atau gelengan kepala. Terkadang kulihat kernyitan dahi yang berkerut, sebagai penolakan atas tindak lakuku yang menurutmu tidak sesuai dengan harapan. Saat kutanyakan kemudian, apa maksud kernyitan tersebut, kamu hanya menggeleng lemah, lalu segera menghindar dan menyibukkan diri. Tidurpun selalu terpisah.

Dari sejak pertama menikah, kebutuhan yang berkaitan dengan dapur memang menjadi tanggung jawabku. Berlaku hingga sekarang. Semakin hari, engkau jarang makan di rumah. Hal ini membuatku malas untuk memasak.

“Ya Allah, apakah doaku selama ini salah?”Cetusku suatu hari saat berbincang dengan adikku saat mudik ke rumah ibu.

Adikku yang janda dengan usia yang masih cukup muda, tersenyum lembut lalu berkata ”Mungkin doa Mbak perlu ditambah,” Ya Allah jadikan suami yang aku cintai, sholih dan mencintai keluarganya. Sabar ya Mbak.”

Ya, mungkin muhasabahku harus ditambah, dzikrullah selalu membasahi bibirku. Ada seorang teman berkata “Disakiti suami itu sangat pedih, tetapi disakiti anak kita, permata hati itu lebih pedih.” Aku tidak pernah berharap akan disakiti oleh suami apalagi buah hati kami.

Memang benar perkataan temanku itu. Mudah-mudahan Allah melembutkan hatiku ini. Meluaskan dadaku agar mampu menampung segala sesak di dada.

“Oh, suamiku terkasih, kuikuti dirimu, pergi meninggalkan keluarga yang sangat kucintai. Sampai hatikah kau meninggalkan diriku dalam sepi dan sunyi?” bisikku berulang-ulang di dalam kamar yang menjadi saksi tangisku setiap malam.

“Dulu kita bahagia, dalam kesederhanaan. Sama-sama guru honorer bergaji kecil , tetapi cukup senang bisa jalan-jalan di alun-alun kota walaupun hanya membeli sebuah jagung bakar.”

Terkadang dalam diammu aku bertanya ”Mas, sampai kapankah kau bersikap seperti ini? Apa salahku?” Kamu hanya memandangku, lalu pergi dalam diam.

Setiap hari, aku menjadi tempat teman-teman sesama guru curhat keadaan rumah tangganya. Baik masalah yang lumayan berat ataupun masalah riak-riak kecil. Aku tetap senyum. Selalu kutampung masalah mereka dengan dada terbuka, walupun hatiku sakit. Seakan dadaku ingin berkata”Heiii, masalahmu tidak seberapa dibanding denganku!”

Saya selalu memotivasi diriku dengan kata-kata bijak ini:

Tunjukkan senyum di hadapan orang banyak, tangis dihadapan sahabat, pengorbanan di hadapan keluarga, rasa bersyukur di hadapan Tuhan.

Saat keadaan ekonomi sempit, selalu berdoa agar bisa lebih lapang rezeki. Seakan lupa bahwa bersyukur akan menambah bahagia. Maka saat dalam kelapangan ekonomi ini, aku malu meminta padaNya agar kasih dan sayang kami direkatkan. Apakah Allah sudi mengabulkan doaku?Apakah aku terlalu serakah?

Buat apa punya keluarga, jika yang dicari cuma harta, bukan kebersamaan.

Sesibuk apapun, sejauh apapun pergi, keluarga tempat kembali, Uang tidak dapat membayar kebersamaan.

Selalu berprasangka baik pada Allah SWT. Suatu saat roda akan berputar, masalah akan berganti. Apakah aku lulus dalam ujian ini? Kebahagiaan itu terletak pada hati yang bersyukur. Akan ku shodaqohkan derita ini pada kemalasan hatiku bertasbih padaNya. Mudah-mudahan Engkau selalu membimbing hatiku agar tetap berdiri pada ridhoNya. Doaku selalu untukmu, Mas. Di sepertiga malam terakhir, mudah-mudahan saat ajal menjemput cintamu kembali padaku, agar RidhoNya tidak berpaling dariku. Kuucapkan doa ini tepat jam 02.00 malam, sambil menunggu kedatanganmu dalam cemas dan harapan.

Dan malam itu, tepat hubungan yang hambar ini telah berlangsung 3 tahun lamanya. Aku memberanikan diri memaksamu untuk berbicara dari hati ke hati.

“Dahulu engkau mencintaiku,mengapa sekarang di saat aku menginjak umur 40 tahun, kamu menjauh dariku, Mas?”

“Siapa yang menjauh? Bukankah kita tidak berjauhan? Tetap serumah.”katanya lirih, sambil duduk berjauhan,

“Serumah tapi tidak berbicara, maksudku berbicara dari hati ke hati? Dekat secara fisik tetapi jauh secara batin. Mengapa, Mas?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Jujurlah, Mas. Apakah Mas masih mencintaiku?Emmm, bagaimana perasaan pean padaku?”

“Perasaanku hampa, alias tidak merasakan apa-apa. Tidak benci, tetapi juga tidak cinta.”Jawabnya dengan tegas. Hatiku serasa meletus, berdarah, pedih. Kutahan air mata yang jatuh. Ku tak ingin menjauh sebelum pembicaraan ini berakhir. Dan suamiku mulai menutup diri lagi.

“Apakah yang harus kulakukan untuk menumbuhkan cinta itu lagi,Mas?”Tanyaku lirih dengan nafas tercekat.

“Tidak ada. Aku juga merasa bersalah padamu. Tetapi aku tidak akan membohongi diriku, sudah tidak ada cinta diantara kita.” Tidak terasa air mataku yang sudah kutahan luruh pelan-pelan mendengar jawabannya yang singkat seakan tanpa perasaan.

“Mengapa Kamu melakukan ini padaku,Mas? Aku telah meninggalkan keluarga. Menyerahkan semua gajiku untuk keluarga. Selalu ikhlas tidak kau beri uang belanja selama 15 tahun lamanya. Membantu rumah keluargamu yang sederhana, hingga layak ditempati.”

“Bukankah kamu ingin saya jujur,Bu?” katanya lirih.

Terbayang di depan mataku, sosok dua jagoanku yang masih membutuhkan kami berdua. Sejelek apa sih diriku, sehingga setelah perjuangan terjal ini, suamiku berhenti menyayangiku. Jika aku memutuskan meninggalkan rumah atau bercerai, bukankah itu sangat melukai dua buah hatiku? Tuhan, maafkan diri ini yang tak pernah bisa berhenti mencintai suamiku. Aku terlalu mencintai suamiku sehingga rasa sakit ini sangatlah pedih kurasa.  Teringat saat aku meminta suamiku untuk mengurus perceraian kami, dia menggeleng tegas.

“Kamulah yang harus mengurusnya, Bu!” Jawabnya tegas, saat kupinta dia menceraikanku.

“Bukankah Kamu yang sudah tidak mencintaiku, Yah?” Pikiranku melayang kusut. Jika aku yang mengajukan cerai, maka hujatan masyarakat akan terarah padaku. Dimana-mana perempuan lah yang salah.

Sebagai sama-sama PNS, urusan perceraian ini tentu sangatlah rumit dan berliku. Jika aku tetap mempertahankan pernikahan ini,apakah aku kuat terus menerima sikap dingin suamiku sendiri? Ya Allah anugerahMu sangatlah banyak pada kami. Disaat ekonomi keluarga kami dalam kesempitan dan kegelapan, Kamu telah meneranginya dengan cinta dan kasih. Sekarang, saat roda ekonomi ini mulai beranjak naik, Kamu cabut cinta dari hati suamiku.

Kusadari sekarang mungkin hanya kepasrahan pada Allah SWT yang akan menolongku. Kukuatkan hati, berusaha tidak berpisah jalan dengan suamiku. Ingin kuakhiri namun tak mampu berakhir, Ingin kuhindari namun hatiku tak ingin berpisah darimu, Suamiku, kekasih hatiku.

Posting Komentar untuk "I'm Always Waiting For You, My Love"