Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cukuplah Empat Suami


Wanita ingin dicintai tanpa sebuah alasan, bukan karena mereka cantik atau baik dan pintar namun karena mereka adalah cinta dan cukup berharga 

Aku Ingin Dicintai, Mudah Saja Bukan?

Seorang teman perempuan bercerita padaku tentang kehidupannya yang berliku. Saat dia mulai bercerita, aku terdiam mendengarkan tanpa menyela.




“Sejak duduk di bangku sekolah, aku suka baca dan menulis puisi. Membaca novel romantis juga menjadi salah satu hobiku. Mungkin hal itu membuat diriku selalu mendambakan suami yang mencintai aku apa adanya. Sebagai seorang perempuan desa yang sederhana, aku cukup pintar dan multitalenta. Dari mulai prestasi akademis mapel eksakta maupun mapel bahasa dan agama. Melukis, menjahit, membordil juga keahlian yang aku kuasai. Walaupun keluargaku sederhana, tetapi orangtuaku berpikiran maju untuk taraf kehidupan desa. Mereka ingin anak perempuan satu-satunya mempunyai pendidikan tinggi.” Ceritanya dengan mata menerawang jauh. Segera aku mengangguk cepat, sebagai tanda agar dia meneruskan ceritanya.

Tersenyum lembut, dia meneruskan ceritanya. ”Perjalanan  hidup kulalui dengan tenang dan bahagia, setelah sekolah dan mondok di sebuah pesantren, pengabdian sebagai guru menjadi pilihan hidupku. Hal itu itu kulalui dengan suka duka yang berliku. Mengajar sebagai sukwan tidak membuatku gundah gulana, juga mencari “ceperan” menjahit baju.”

“Apa Anda bahagia?” tanyaku, yang segera dijawab denga lambaian tangan. Memohon padaku agar tidak memutus ceritanya. Aku terdiam seketika, menahan emosi agar lebih bersabar untuk mendengarkan.

“Aku menikah karena perjodohan. Suamiku yang pertama melamarku saat aku sudah berumur cukup dewasa, yaitu 27 tahun. Pernikahan kami bahagia tapi terasa tanpa bumbu romansa. Menghormati imamku, menjalankan kewajibanku mendidik anak tunggal kami yang masih balita. Apakah aku cinta padanya saat itu? Bagiku yang terbiasa hidup di pondok pesantren, cinta adalah bila seorang laki-laki berani menikahiku, mau mengarungi bahtera rumah tangga denganku. Pernikahanku berjalan tenang seperti layaknya pasangan muda yang baru menikah. Kehidupan sederhana bagai air kolam tanpa riak. Seorang putra harapan hati lahir setelah pernikahan berusia setahun. Saat putraku berumur kurang lebih 4 tahun, suamiku terserang penyempitan pembuluh darah otak, sakit beberapa lama, kemudian meninggalkan kami berdua mengarungi kerasnya kehidupan.” Matanya berkaca-kaca saat mengenang masa sulit itu. Aku tetap diam.

Dia segera berbisik menggambarkan perasaannya saat itu. ”Dunia kecilku runtuh, mampukah aku berdiri tegak? “Janda Mati” adalah predikat terhormat yang sangat sensitif. Hati-hati adalah kunci sukses menjalaninya. Setelah menjanda cukup lama, sisi jiwaku yang romantis, menolak untuk berhati-hati melangkah. Apa salah kalau aku ingin bahagia? Segala teori kebahagiaan, kulanggar dengan tanpa berpikir panjang.  Saat kutemukan seseorang yang menyatakan dirinya tertarik padaku. Semua itu berkat perkenalan lewat handphone. Dunia terasa berseri-seri saat itu. Semua nasihat tidak kuhiraukan.” Matanya seakan bercahaya saat bercerita. Bahagia akan cinta.

Tanpa jeda dariku, dengan percaya diri dia serahkan secarik kertas lusuh berisi puisi.

Suamiku, cintaku

Aku hanya ingin dicintai

Aku hanya ingin dilindungi

Maka cukuplah hidupku

Cintai aku, maka kuberi kan

Semua pengorbananku

Lindungilah aku, maka akan kuberikan

Semua pengabdianku 

“Puisi itu terasa sangat cocok saat itu. Saat aku menerima lamaran suami kedua. Tiga bulan pernikahan kami lalui. Saat kemudian suamiku meninggalkan diriku, mencuri amanah yang aku percayakan padanya. Uang hasil pinjaman, yang rencananya akan dipergunakan sebagai modal kerja amblas dibawa pergi. Meninggalkanku dengan hutang bertumpuk. Saat mempercayakan uang tersebut, aku hanya ingin membantu suami untuk memulai hidup baru. Tidak terpikir olehku bahwa kehati-hatian itu sangat perlu dilakukan. Dunia gelap melanda hari-hariku. Kepercayaan diriku hancur. Dia benar-benar menyakiti hatiku. Perkenalan singkat kami tidak cukup membuat aku mengenal sifat aslinya.Ya Allah tidak pantaskah diriku ini dicintai? Aku tidak menuntut yang muluk-muluk. Hanya cinta.

Setelah dua tahun tanpa kabar bagai ditelan bumi. Aku mulai menata kembali hidupku. Segera dengan bantuan beberapa pejabat dinas terkait, surat cerai telah diputuskan hakim walau dengan jalan berliku.

Ya Allah tidak pantaskah diriku mendapat belahan jiwa

Jiwaku rindu diayomi dan disayangi

Bermanja, serta berbagi cinta

“Beberapa saat berlalu, seorang laki-laki baik mencoba menjalin hubungan denganku. Perkenalan kami melalui sahabat. Hubungan kami tidak tidak mudah, karena beberapa kesalahpahaman.”Dia tersenyum lembut.  

Seakan dia dapat membaca kegamangan diriku waktu mendengar ceritanya. “Mungkin bagi perempuan yang tidak mengalami lika-liku hidup seperti diriku, pasti akan bertanya-tanya dalam hati. Mengapa begitu mudahnya aku memutuskan menikah lagi. Semua itu kembali pada moto hidup yang aku jalani, mengalir mengikuti aliran air. Kriteria suami bagiku tidak muluk-muluk, cukuplah sayang padaku dan anak.”

“Aku berhak hidup bahagia.” Katanya padaku yang segera kusetujui dengan anggukan kepala.

“ Saat kuputuskan menerima lamaran suami ketigaku. Aku tidak ragu. Aku tidak suudhon padaNya.”

Segera dia bercerita dengan suara pelan. ”Pernikahan kami cukup bahagia, sampai mendung itu datang lagi. Hujan menggelayuti kehidupanku. Seperti tangisan pedih hati perempuan lemah ini. Beberapa saat menikah, suamiku jatuh sakit. Komplikasi yang parah. Sebagai pengantin baru, aku merawat tubuh suamiku yang mulai lemah dengan penuh kasih. Allah Maha Besar, memberiku ketabahan. Tenaga dan biaya kukeluarkan tanpa menghitungnya. Sampai Allah SWT sekali lagi mengujiku dengan perpisahan. Pepat hatiku tiada tara.”  Hatiku ikut gundah mendengar jalan jodohnya yang berliku.

Dengan tersenyum simpul menggoda dia berkata“Aku sudah merasakan bermacam-macam rasa dalam pernikahan. Bagi perempuan lulusan pondok pesantren sepertiku, ini sangat luar biasa.” Matanya berkedip menggoda.

“Aku merasakan baik itu kebahagiaan pernikahan atau kehilangan. Rindu, cemburu serta kemarahan yang membakar kalbu.”

Wajahnya berseri-seri sambil mulai bercerita dengan syahdu. “Pengalamanku belum tentu dialami oleh wanita lain, dipisahkan dengan suami tercinta karena kematian, ditinggal pergi suami kedua, dengan hutang menumpuk. Baru menikah tiga bulan dengan suami ketiga, mereguk sebentar manisnya bulan madu, lalu merawatnya saat dia sakit parah.

Tiba-tiba raut wajahnya gembira, “Lagunya Chrisye Badai Pasti Berlalu, benar-benar sesuai dengan hidupku. Baru sekarang kurasakan dinafkahi oleh suami, yang keempat, Alhamdulillah.” Bahkan ONH sudah kami setor, oh terasa berada di syurga. Tiada pernah terbayangkan, aku akan mengalami juga kebahagiaan. Wajahnya berseri penuh kebahagiaan. Segera kupanjatkan doa kepadaNya. Mudah-mudahan sahabatku yang tabah ini bahagia. Mawaddah wa Rahmah selalu. Berjodoh dengan suami keempat hingga syurga kelak amin

Oleh Amilia Rahma Sania (Lika Liku Menjadi Istri)

Posting Komentar untuk "Cukuplah Empat Suami"