Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hati Bagai Bidadari


Awan menghitam, buih bertasbih. Cuaca embun beruap panas, angin berhembus kencang. Air berbusa putih pertanda ombak membesar di tengah laut. Kepasrahan dan ketenangan hati melingkupi hati, dzikir terluncur seketika, saat goyangan terasa mengguncang. Entahlah, mengapa keberangkatan hari ini terasa lain. Senyum siswa berharap cemas, sudah terbayang akan menyambut tiap kedatanganku tiap kali mendaratkan kaki ke sekolah. Akankah guru masih bisa menyapa. Ataukah alam sedang bercanda, sehingga tidak ada pembelajaran yang berlangsung.

Sesaat berlalu, setelah sedikit minum air putih, dan menaruh tas di meja kantor. Malu-malu gadis itu mendekatiku.

“Saya ingin menyetor hafalan, Bu,” katanya dengan suara pelan. Matanya bersinar penuh harap. Tangannya bergetar hebat teratur, matanya sayu penuh harap. Chita nama panggilannya, adalah remaja berkebutuhan khusus, tepatnya dia menderita penyakit ensefalitis (infeksi pada otak). Mengalami gemetar tangan sehingga tidak bisa bicara tanpa gagap, menulis atau mngerjakan pekerjaan lainnya yang membutuhkan keterampilan motorik halus.

Chita terlahir normal dengan berat 3,6 kg. Kejadian berawal saat dia berumur 6 tahun, hari menjelang maghrib, setelah seharian bermain bersama temannya, tubuhnya tiba-tiba panas dan menggigil. Setengah jam berlalu dengan cepat, panas badannya tidak juga turun, kedua mata membelalak dengan bola mata seakan terbalik ke atas. Ibu Evi, segera membawanya ke puskesmas. Chita mulai muntah-muntah, sehingga pihak keluarga memutuskan segera berangkat menyeberangi lautan di malam hari untuk memeriksakannya ke dokter spesialis anak,

Dokter segera memerintahkan Chita untuk segera diopname. Walaupun dalam pengawasan dokter yang cukup ahli, keadaannya tidak segera membaik, seringkali kejang mengganggu tidurnya. Tidak begitu lama setelah keluarga berembuk, sekitar pertengahan Maret 2008 bertepatan dengan acara maulid nabi di desa, Chita segera dirujuk ke Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya.

Sembilan belas hari telah berlalu setelah Chita mengalami perawatan intensif, Chita mulai menggerakkan tangannya, matanya mampu melirik walaupun tetap tidak bisa bicara. Vonis dokter jika Chita sembuh, maka dia tidak akan normal lagi. Perkiraan itu bagai guntur di siang hari. Prediksi dokter. Chita akan mengalami  hilang ingatan, lumpuh ataukah buta.

Setelah dua bulan tanpa kemajuan yang berarti, pihak keluarga membawa Chita pulang ke Sumenep, dan langsung dirawat kembali di  RSUD Moh Anwar Sumenep. Di sini, dokter menyarankan untuk pengobatan rawat jalan selama kurang lebih dua bulan, Chita sudah bisa tertawa. Diagnosis dokter otak kiri Chita mengalami kerusakan, hal itu mempengaruhi gerak badan sebelah kanan.

Sebab penyakitnya itu, Chita tidak bersekolah sejak usia TK, sehingga pada kelas 9 dia mulai masuk SD. Dua tahun dia mengalami kemunduran baik secara fisik dan kemapuan logika.

Keadaan fisiknya yang terbatas tidak menjadikannya remaja yang suka bermalas-malasan. Dia termasuk remaja yang mempunyai semangat  tinggi untuk maju dan belajar. Saat pelajaran, dia akan terus berusaha agar tugasnya selesai tepat pada waktunya. Dia tidak mau diistimewakan. Hal ini terkadang membuatnya merasa jengkel bahkan sangat marah pada dirimya sendiri.

Betapa dia ingin dapat berjalan dan bergaul bersama temannya tanpa gangguan dan kendala fisik, alangkah inginnya dia belajar tanpa gangguan motorik halus yang menderanya. Semua itu terkadang membuatnya marah dan emosi.

Sebagai anak seorang kepala desa saat itu, Chita termasuk beruntung karena dilahirkan dari golongan keluarga yang cukup berada. Andai dia dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu, tentulah pihak keluarga tidak bisa banyak  membantu. Bukan karena kurangnya kasih dan sayang, akan tetapi karena mahalnya biaya pengobatan yang telah dialami pihak keluarga.

 Chita adalah anak yang sopan. Bila bertemu guru, dengan tangan gemetar, berusaha mencium tangan. Selalu mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Mendengarkan, berusaha bekerja sama sesuai kemampuan.

Sebagai guru, saya tidak mempunyai keahlian khusus untuk menangani masalah ini. Hanyalah optimis, bahwa tujuan pendidikan, menciptakan pribadi pembelajar aktif yang santun dan berbudaya. Anak ini telah berhasil melaluinya. Jadi untuk masalah administrasi, tidak dipermasalahkan.  

Berikut adalah contoh hasil tulisannya pada pelajaran IPS, tentang tema Proklamasi Kemerdekaan.


 

Salah satu hasil tulisannya, yang diusahakannya dengan keras 

 

(Tulisan ini dipersembahkan untuk kenangan bersama Bu Dina Mariyana, Guru BK SMPN 1 Giligenting, yang bersama-sama mendatangi dan menangani ananda Chita)

 

 

 

Posting Komentar untuk "Hati Bagai Bidadari"