Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Blood Ink Painting

 

Aku selalu merasa sedih melihatnya, seorang dari banyak siswa yang telah kuajari seni melukis. Sebagai guru tidak tetap, aku selalu mengajar sana-sini. Rahwana Yoga Pratama nama lengkapnya, seringkali dipanggil Chopra. Di parkiran, tertawa pongah mempermainkan buku tipis yang lusuh. Buku yang sering dilipat menjadi dua, selalu bertengger di saku belakang celananya. Dia selalu menatapku dengan mata yang tajam, apabila berpapasan dimana saja. Tiada sedikitpun rasa hormat terpancar di matanya.

                                                           https://bit.ly/3Djyg2Q

Bunyi bel masuk pelajaran terakhir berdering panjang. Aku segera bergegas masuk ke kelas paling ujung. Hatiku sedih teringat cincin kawin Lili, istriku di dalam kantong celana, seakan teronggok tak berdaya. Beras habis, dan susu anak pertama kami mulai menipis. Kehamilan kedua Lili sangat berat. Tubuhnya yang lelah mengurus pekerjaan rumah tangga. Semakin terlihat kepayahan. Ah, semoga kantor pegadaian masih buka saat aku selesai mengajar. Aku tak boleh menjual cincin ini. Semoga suatu saat aku dapat menebusnya. Cincin ini simbol cinta kami berdua.

Masuk ke kelas yang pengap itu membuatku sedikit melupakan rasa gundah yang membayangi. Melukis selalu membuat aku bahagia. Sekolah tempat aku mengajar juga memberi kebebasan untuk mendorong segala kreativitas siswa-siswinya dalam seni suara dan seni musik. Saat kulihat beberapa mulai siswa kecapekan, kuputar instrumen lagu gubahan sendiri pemanis suasana. Terlihat kepala mereka mengangguk dan bergeleng senang mengikuti nada. Sampai kulihat sesosok kepala di bangku pojok kelas.

“Yoga, bangun!”

Anak itu selalu sengaja membuatku marah, selama ini aku selalu membiarkannya. Siang ini aku harus segera memberikannya pelajaran tentang sopan santun. Aku telah menundanya sekian lama. Hatiku selalu trenyuh melihat matanya yang tajam. Entahlah seakan aku merasa hatinya penuh dengan duka yang tidak dapat  menemukan muaranya. Perasaanku ini yang pernah tercetus tanpa sengaja kepada seorang teman guru, segera ditanggapi dengan tawa yang menggelegar.

“Apa yang disusahin, Pak?”

“Segalanya serba ada, dasar anak manja. Tidak seperti kita ini yang harus berjuang agar asap ngebul. Dasar anak juragan. Tidak tahu rasanya hidup susah. Tahukah apa yang terjadi pada Bu Suti? Kemarin didamprat bapaknya Yoga ke sekolah. Kontrakan Bu Suti sudah habis masa tenggat. Yang tak habis saya pikir, kenapa nagihnya di sekolah? Kasihan Bu Suti menanggung rasa malu diteriakin begitu.”

Aku segera tersadar dari lamunan, saat ada seorang siswa bertanya tentang campuran warna yang dibuatnya. Setelah kujawab. Segera kuhampiri kursi Yoga lagi.

“Yoga, bangunlah !”

  Yoga menggeliat bangun dari tidurnya. Matanya nyalang menatapku. Untuk meredakan suasana tegang. Kucoret sedikit pipinya dengan cat air di kuas yang kupegang.

“Cepat ke kamar mandi,Nak. Melukislah seperti temanmu yang lain.”

Aku berkata sambil beranjak pergi. Tiba-tiba seperti diseruduk banteng. Tubuhku terjatuh. Seakan ditindih dengan sekarung beras. Kepalaku pening terbentur pojok meja sebelum jatuh ke lantai. Kulihat Yoga telah beringas duduk di atas tubuhku. Berdentam dentam seluruh tubuhku dipukuli bak kesetanan. Matanya nyalang seakan kosong. Tiada sepotong kata pun dapat kulontarkan. Kasihan kamu, Yoga. Kamu telah tersesat begitu jauh.

Serasa bagaikan tidur sejenak, telingaku lamat-lamat mendengar teriakan di kejauhan. Baku hantam dan suara beberapa orang yang saling menguar di sekelilingku. Mataku terasa berat, dan seluruh tubuhku tidak bisa kugerakkan. Tangisan  lembut istriku terdengar lamat-lamat. Tubuhku ingin menyentuhnya. Teringat cincin kawin yang belum sempat kubawa ke pegadaian. Aduh, bagaimana ini kalau Tata lapar. Mataku tak mampu terbuka. Entahlah mengapa terasa berat.

Mengapa Lili menangis. Aku tak mampu menghiburnya. Kasihan Lili sendirian. Dia sedang sakit. Tapi entahlah  layar di depanku seakan sedang diputar film Rahwana lagi bertarung, oh, mengapa aku melihat Yoga. Yoga menjadi Rahwana. Rahwana sang raksasa. Ada apa ini?  Keinginanku tidak banyak. Aku hanya ingin melukis, mengajar anak bangsa. Juga membahagiakan keluarga kecilku. Aku masih ingin hidup. Menjadi guru PNS suatu hari nanti. Aku tidak ingin mati. Sungguh masih banyak yang ingin kukerjakan. Tolong, aku ingin bangun. Mengapa tidak ada yang menolongku?

(Dipersembahkan kepada semua guru yang gugur dalam tugas)

 

 

Posting Komentar untuk "Blood Ink Painting"