Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MY DAUGHTER-IN-LAW

 

Umur saya menginjak 70 tahun. Punya tiga orang anak laki-laki, yaitu Agus, Salim dan Budi . Anak pertama dan kedua, anak kembar yang berprofesi sama yaitu kepala sekolah SDN di desa yang berbeda. Anak bungsu PNS sebuah instansi pemerintah. Mereka sama-sama sudah berkeluarga. Saya tinggal di rumah keluarga, bersama dengan Salim dan keluarganya. Sedang Agus dan Budi tinggal di rumah milik istri mereka. Bahagia sekali terasa. Rasanya segala lelah bekerja di sawah bertahun-tahun terbayar sudah. Sekarang waktunya beristirahat menikmati hari tua.

Kesedihan itu dimulai....

Bila Allah menghendaki kebahagiaan tercerabut, maka itu sangat mudah terjadi. Seperti dunia Budi, yang telah jungkir balik.Istrinya telah mengkhianatinya dengan sahabat keluarga, meninggalkan dua putri mereka yang masih butuh kasih sayang. Kejadian itu membuat Budi dan kedua putrinya,menumpang di rumah kosong milik kerabat

“Hei, apa-apaan ini? Mengapa pohon asem punyaku ditebang?!”Teriak Salim di ladang pinggir rumah kami. Ladang itu warisan milik saya. Belum pernah diganti nama kepada salah satu dari anak-anakku. Dari ketiganya, hanya Budi yang belum menerima bagian apapun. Sehingga secara etika ladang itu milik Budi.

“Kami disuruh oleh pak Budi.”Penebang pohon berkata takut-takut. Budi segera mendekat.

“Saya yang menyuruhnya, Kak.”Kata Budi dengan tegas.

“Mohon maaf, sebaiknya silahkan dibicarakan baik-baik dulu. Nanti Kami akan kembali lagi.”Kata pak Samin , penebang pohon di desa kami.

“Tidak perlu,Pak Samin. Silahkan teruskan! Kami akan berbicara di dalam.”Kata Budi dengan tegas. Lalu Budi mengajak Salim untuk duduk di rumahnya. Sementara berjalan masuk ke dalam rumah, Budi menelpon Agus, untuk ikut dalam rapat keluarga.

Mereka ketiga anakku yang kusayang. Membicarakan harta saya. Saat saya,ibunya masih hidup. Memang salah saya tidak mengganti nama masing-masing warisan dengan resmi. Pikir saya, perempuan yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, itu tidak akan pernah jadi masalah. Mereka selalu hidup rukun.

Mendengar percakapan sengit mereka, saya jadi sadar. Bahwa pengaruh masing-masing istri sangat kuat. Budi merasa bahwa ladang itu miliknya, karena kakeknya pernah mewasiatkan padanya. Sedang Salim bersikeras itu miliknya karena dia merasa berhak. Salimlah yang mengurus kakek dan neneknya hingga ajal menjemput. Terutama dia merasa berhak karena saya, tinggal bersamanya. Walaupun Budi lebih membutuhkan ladang itu untk membangun rumahnya, Salim tidak merasa kasihan sedikit pun.

Hubungan kekeluargaan telah pecah. Saya telah gagal. Pedih perih melihat mereka saling gugat. Istri Salim setiap hari menyulut bara menjadi yang berkobar di dada Salim. Setiap hari melancarkan sindiran pedas kepada saya mertuanya. Menuduh tidak adil. Saya hanya bisa dia. Bicara tidak akan membawa kedamaian bila hati telah dipenuhi angkara.

Orang yang kuat dan sabar adalah orang yang berjaya menyembunyikan perasaan sedihnya kepada orang lain, mengukir senyuman dengan ikhlas.

Kesedihan ini menggerogoti fisik saya yang telah tua. Sampai saya tidak kuat lagi bangun. Mendengar kabar tentang ibunya yang sakit. Agus menjemputku untuk tinggal di rumahnya. Salim semakin marah, tapi dia tidak melarangku. Saya pergi bukan karena lebih sayang pada Agus dibanding Salim. Tetapi saya hanya ingin tenang. Istri Agus lebih sabar pada saya yang telah terluka ini.

Salim telah lupa bahwa keluarga lebih penting dari harta. Seandainya dia lebih dewasa, maka akan mensyukuri apa yang telah dipunyai. Rumah dan sawah yang telah dikelolanya selama ini.

Keluarga bukanlah hanya sekedar status. Keluarga berbicara tentang kasih, pengorbanan dan kebersamaan. Keluarga bukanlah sesuatu yang begitu penting melainkan SEGALAnya yang sangat penting.

Perseteruan ini belum berakhir. Saya hanya memohon padaNya agar diberi sedikit umur untuk melihat mereka berdamai sebelum tutup usia.

Posting Komentar untuk "MY DAUGHTER-IN-LAW"